Wednesday, 1 July 2015

Adek.. apa yang menjadikanmu seperti ini? (Sisi lain air terjun madakaripura)

Pagi itu 13 Juni 2015, hari yang lama dinanti akhirnya tiba. Perasaan riang, gugup, sumringah bercampur aduk menjadi satu hingga sempat membuat bingung. Hari itu festival tahunan Jazz Gunung diadakan, bertempat di Hotel Java Banana Bromo, Probolinggo. Saya yang telah memesan tiket sejak jauh hari sangat antusias menyambut hari itu, bersama seseorang yang sangat spesial. Kami pun berangkat kesana sekitar pukul sebelas siang dengan harapan mendapat pertunjukan yang mengesankan dan tak terlupakan.

Venue Jazz Gunung 2015

Dalam perjalanan, kami berencana mampir ke Air Terjun Madakaripura yang memang berada satu arah dengan lokasi yang kami tuju. Air terjun yang menjadi primadona di kalangan pengunjung kawasan Gunung Bromo, meskipun sudah pernah beberapa kali mengunjungi tempat ini, namun saya masih tetap antusias. Sesampainya di parkiran wisata Air Terjun Madakaripura, tentunya setelah membayar biaya masuk di pos pembayaran, kami di sambut oleh segerombolan anak kecil yang tampak berebut menghampiri kami.

Parkiran Air Terjun Madakaripura
“Helmnya di titipkan di kami saja mas, sekalian kami cucikan motornya biar bersih.” Celetuk salah seorang anak lelaki yang tampak cukup dekil.
Saya hanya menjawabnya dengan senyuman sambil merapikan barang bawaan yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Gerombolan anak kecil tadi masih tetap berada di sekitar motor yang saya parkir, sepertinya mereka tidak mau beranjak sebelum saya bersedia menitipkan helm pada mereka. Saya tidak menghiraukan mereka dan bersama rekan saya bergegas menuju lokasi air terjun yang memang harus di tempuh dengan berjalan kaki selama kurang lebih setengah jam. Baru lima langkah kami berjalan, tiba-tiba salah seorang anak berkata dengan nada sedikit mengancam.

“Ya sudah kalau tidak mau menitipkan helmnya di kami mas, nanti kalau hilang jangan salahkan kami.”
Saya pun spontan menoleh kepada rekan yang juga menoleh kepada saya, wajahnya tampak heran dan seakan tidak percaya, kami terkejut dengan omongan anak yang di usia masih sekitar empat tahun itu mampu dengan santainya bisa berbicara seperti itu. Seakan-akan jika kami tidak menitipkan helm pada mereka, pasti helm itu akan hilang. Takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, mengingat kami bukan orang sekitar sana, dan tentunya sangat membutuhkan helm untuk berkendara, kami pun akhirnya memutuskan untuk menitipkan helm kami pada mereka, dan bersedia motor kami di cuci oleh mereka.

Dalam benak, kami bertanya-tanya, apakah seperti ini yang orang tua mereka inginkan, membiarkan anaknya berusaha mencari uang untuk ikut menstabilkan ekonomi keluarga. Bukankah di usia belia seperti itu mereka berhak mendapat kebebasan untuk setidaknya bermain dan bersenang-senang. Memang kami tidak tahu, apakah itu sesuai keinginan mereka sendiri atau paksaan dari orang lain. Apakah itu membuat mereka senang atau membuat mereka tertekan, namun yang jelas pasti ada yang salah dari cara mendidik mereka. Karena pada dasarnya, dunia anak adalah dunia bermain.

Oke, jika mungkin itu keinginan sendiri dan mereka melakukannya dengan senang hati, saya mempunyai sebuah pertanyaan. Apa yang melatar belakangi mereka hingga mempunyai pemikiran seperti itu, “senang mencari uang”? Bukankah itu sedikit tidak wajar, bagaimana mungkin mereka bisa menentukan jika hal itu menyenangkan. Sedangkan di usia mereka saat itu pada umumnya anak-anak lebih senang bermain daripada mencari uang.

Faktor lingkungan jelas berperan sangat besar membentuk kepribadian mereka hingga menjadi seperti itu, dalam hal ini lingkungan tempat tinggal mereka secara tidak langsung menekankan pada hal-hal yang salah dan menganggap itu sebagai suatu kewajaran. Mungkin mereka akan mendapat sebuah apresiasi dari teman-teman sesama pencuci motor ketika memperoleh uang lebih banyak dari yang lainnya, dan membuatnya berpikir bahwa itu hal yang membanggakan. Kemudian tingkat ekonomi keluarga juga mungkin menjadi penyebabnya, meskipun menurut saya kebanyakan dari mereka tidak menyerahkan hasil pekerjaan mereka kepada orang tua (dipakai sendiri), dan mereka tetap meminta uang jajan kepada orang tua.

Memang ada sisi positif mengenai hal ini, yaitu dapat menempa kemandirian sejak dini dan mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam batas tertentu. Namun sisi negatifnya jauh lebih banyak dan sangat mengkhawatirkan. Contohnya, anak yang lebih tertarik bekerja karena iming-iming mendapat upah akan cenderung lebih malas untuk bersekolah. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kehidupan anak dalam jangka panjang, meskipun pekerjaan yang mereka lakukan adalah bersifat part time (paruh waktu). Asik bekerja dan mengenal arti “uang” sejak dini menjadi penyebab utama anak putus sekolah. Perilaku merokok, suka berkelahi, mengkonsumsi minuman beralkohol, dan cenderung melakukan sesuatu yang berbahaya pada orang lain juga sangat mungkin terjadi.

Jika anak sudah mulai bekerja pada usia dini, orang tua cenderung akan berhenti mengawasi ketika anaknya sedang bekerja, sehingga kontrol atas apa yang mereka lakukan menjadi berkurang. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas pengawasan terhadap mereka apabila orang tua sebagai orang pertama yang bertanggung jawab mengawasi sudah lalai seperti ini?

Peranan lingkungan sekitar menjadi sangat berguna jika hal ini terjadi, karena lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor utama yang bertanggung jawab membentuk kepribadian anak. Mendapati fakta seperti ini saya sadar mengenai kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang pekerja anak belum terlaksana dengan baik.


Artikel saya juga di muat di sini www.surgatraveller.com

0 comments:

Post a Comment

 
Visit Siluet Senja at Ping.sg http://submiturlfree.net/