Pagi itu 13 Juni 2015,
hari yang lama dinanti akhirnya tiba. Perasaan riang, gugup,
sumringah bercampur aduk menjadi satu hingga sempat membuat bingung.
Hari itu festival tahunan Jazz Gunung diadakan, bertempat di Hotel
Java Banana Bromo, Probolinggo. Saya yang telah memesan tiket sejak jauh hari sangat antusias menyambut
hari itu, bersama seseorang yang sangat spesial. Kami pun berangkat
kesana sekitar pukul sebelas siang dengan harapan mendapat
pertunjukan yang mengesankan dan tak terlupakan.
Venue Jazz Gunung 2015 |
Dalam perjalanan, kami
berencana mampir ke Air Terjun Madakaripura yang memang berada satu
arah dengan lokasi yang kami tuju. Air terjun yang menjadi
primadona di kalangan pengunjung kawasan Gunung Bromo, meskipun sudah
pernah beberapa kali mengunjungi tempat ini, namun saya masih tetap antusias. Sesampainya di parkiran wisata Air Terjun
Madakaripura, tentunya setelah membayar biaya masuk di pos
pembayaran, kami di sambut oleh segerombolan anak kecil yang tampak
berebut menghampiri kami.
Parkiran Air Terjun Madakaripura |
“Helmnya di titipkan di
kami saja mas, sekalian kami cucikan motornya biar bersih.” Celetuk salah seorang anak lelaki yang tampak cukup dekil.
Saya hanya menjawabnya
dengan senyuman sambil merapikan barang bawaan yang terasa lebih
berat dari sebelumnya. Gerombolan anak kecil tadi masih tetap berada
di sekitar motor yang saya parkir, sepertinya mereka tidak mau
beranjak sebelum saya bersedia menitipkan helm pada mereka. Saya
tidak menghiraukan mereka dan bersama rekan saya bergegas menuju
lokasi air terjun yang memang harus di tempuh dengan berjalan kaki
selama kurang lebih setengah jam. Baru lima langkah kami berjalan,
tiba-tiba salah seorang anak berkata dengan nada sedikit mengancam.
“Ya sudah kalau tidak
mau menitipkan helmnya di kami mas, nanti kalau hilang jangan
salahkan kami.”
Saya pun spontan menoleh
kepada rekan yang juga menoleh kepada saya, wajahnya tampak
heran dan seakan tidak percaya, kami terkejut dengan omongan anak yang di usia masih sekitar empat tahun itu mampu dengan
santainya bisa berbicara seperti itu. Seakan-akan jika kami
tidak menitipkan helm pada mereka, pasti helm itu akan hilang.
Takut terjadi sesuatu yang tidak di inginkan, mengingat kami bukan
orang sekitar sana, dan tentunya sangat membutuhkan helm untuk berkendara, kami pun akhirnya memutuskan untuk menitipkan
helm kami pada mereka, dan bersedia motor kami di cuci oleh mereka.
Dalam benak, kami bertanya-tanya, apakah seperti ini yang
orang tua mereka inginkan, membiarkan anaknya berusaha mencari uang
untuk ikut menstabilkan ekonomi keluarga. Bukankah di usia belia
seperti itu mereka berhak mendapat kebebasan untuk setidaknya bermain
dan bersenang-senang. Memang kami tidak tahu, apakah itu sesuai
keinginan mereka sendiri atau paksaan dari orang lain. Apakah itu
membuat mereka senang atau membuat mereka tertekan, namun yang jelas
pasti ada yang salah dari cara mendidik mereka. Karena pada dasarnya, dunia anak adalah dunia bermain.
Oke, jika mungkin itu keinginan sendiri dan mereka melakukannya dengan senang
hati, saya mempunyai sebuah pertanyaan. Apa yang melatar belakangi
mereka hingga mempunyai pemikiran seperti itu, “senang mencari
uang”? Bukankah itu sedikit tidak wajar, bagaimana mungkin mereka
bisa menentukan jika hal itu menyenangkan. Sedangkan di usia mereka
saat itu pada umumnya anak-anak lebih senang bermain daripada mencari
uang.
Faktor lingkungan jelas berperan sangat besar membentuk
kepribadian mereka hingga menjadi seperti itu, dalam hal ini
lingkungan tempat tinggal mereka secara tidak langsung menekankan
pada hal-hal yang salah dan menganggap itu sebagai suatu kewajaran.
Mungkin mereka akan mendapat sebuah apresiasi dari teman-teman sesama
pencuci motor ketika memperoleh uang lebih banyak dari yang lainnya,
dan membuatnya berpikir bahwa itu hal yang membanggakan. Kemudian
tingkat ekonomi keluarga juga mungkin menjadi penyebabnya, meskipun
menurut saya kebanyakan dari mereka tidak menyerahkan hasil pekerjaan
mereka kepada orang tua (dipakai sendiri), dan mereka tetap meminta
uang jajan kepada orang tua.
Memang ada sisi positif
mengenai hal ini, yaitu dapat menempa kemandirian sejak dini dan
mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam batas tertentu. Namun sisi
negatifnya jauh lebih banyak dan sangat mengkhawatirkan. Contohnya,
anak yang lebih tertarik bekerja karena iming-iming mendapat upah
akan cenderung lebih malas untuk bersekolah. Hal ini tentu saja akan
mempengaruhi kehidupan anak dalam jangka panjang, meskipun pekerjaan
yang mereka lakukan adalah bersifat part time (paruh waktu). Asik bekerja dan
mengenal arti “uang” sejak dini menjadi penyebab utama anak putus
sekolah. Perilaku merokok, suka berkelahi, mengkonsumsi minuman
beralkohol, dan cenderung melakukan sesuatu yang berbahaya pada orang
lain juga sangat mungkin terjadi.
Jika anak sudah mulai
bekerja pada usia dini, orang tua cenderung akan berhenti mengawasi
ketika anaknya sedang bekerja, sehingga kontrol atas apa yang mereka lakukan menjadi berkurang. Lantas siapa yang bertanggung jawab atas
pengawasan terhadap mereka apabila orang tua sebagai orang pertama
yang bertanggung jawab mengawasi sudah lalai seperti ini?
Peranan lingkungan
sekitar menjadi sangat berguna jika hal ini terjadi, karena
lingkungan sekitar menjadi salah satu faktor utama yang bertanggung
jawab membentuk kepribadian anak. Mendapati fakta seperti ini saya sadar mengenai kontrol terhadap pelaksanaan undang-undang pekerja anak belum
terlaksana dengan baik.
Artikel saya juga di muat di sini www.surgatraveller.com
0 comments:
Post a Comment